Home » » Solusi bagi Caleg yang Kalah

Solusi bagi Caleg yang Kalah

Beberapa hari yang lalu ada tulisan yang menarik untuk dibaca, yang ditulis oleh Bapak Sd. Tasrif yang dimuat di GALERY: “Stres, Menung­gu Caleg yang Kalah” (Sabtu, 5, April: 4). Isi dari tulisan tersebut meni­tikberatkan kepada para calon Legislatif (Caleg) yang kalah: apakah mereka siap untuk menerima kekalahannya dengan baik atau malah masuk Rumah Sakit Jiwa (RSJ)”?

Pertanyaannya, mungkinkah semua terjadi? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Dikatakan penggal awal, karena para caleg sudah ‘mengorbankan diri pribadinya’, harta, benda, keluarga bah­kan ke­lom­poknya dengan segala cara demi meraih kursi empuk yang diim­pi­kannya. Namun ia gagal dalam meng­gaet suara pada posisi aman. Dari itu ia mulai berpikir mundur, bahwa hutang-piutang serta harta benda yang ter­gadaikan mesti ditebus. Sementara uang atau benda untuk penebus itu semua, sudah ludes. Maka salah satu dari sekian banyak jalan keluar yang mesti ia tem­puh adalah tinggal di RSJ untuk jangka waktu tertentu. Penyebabnya, ia memi­kirkan apa yang tak pernah ia pikirkan atau men­dahulukan ‘tujuan daripada jalan’. Artinya, ia hanya menginginkan kemenangan, dan tidak untuk keka­lahan!

Itulah sepintas gambaran caleg yang memimpikan kemenangan dan tidak per­nah memikirkan kekalahan. Walau­pun ia mempunyai niat baik yang diba­rengi dengan strategi jitu untuk memu­lihkan keadaan masyarakatnya. Lain dari itu, tidak mesti duduk di kursi Legislatif untuk merubah keadaan masyarakat ke tingkat yang lebih baik, bukan?

Pepatah Arab ada mengatakan: “At thoriqu ahkammu minal ghoyah”—jalan lebih penting dari tujuan. Sebagai con­toh, bangsa Indonesia mempunyai pe­nga­laman dipimpin oleh dua orang Presiden: Soekarno dan Suharto, yang pada mula­nya berniat baik memajukan bangsanya. Na­mun, walau­pun berjasa dalam menye­lamatkan dan menyatukan bangsa ini, akan tetapi riwayat kepe­mimpinan me­reka berakhir dengan tragis, dihina, dicaci serta dipaksa turun secara tidak ter­hormat.

Keadaan ini terjadi karena cara (ja­lan) yang tidak tepat mereka lakukan ketika memimpin rakyat Indonesia. Meskipun masing-masing dari mereka mempunyai niat baik untuk memajukan bangsanya. Tetapi mereka tidak yakin bahwa dirinya telah keliru dalam melak­sa­nakan Panca­si­la, khususnya sila Ke­dau­latan Rakyat dan Keadilan Sosial, (Iliyas, 2010: 16-17).

Adapun sepintas kejatuhan Presiden Soekarno di atas, setidaknya bisa dilihat dari apa yang dikhawatirkan A.R. Sutan Mansur (Buya Tuo): pada tahun 1983 dalam kursus Muhammadiyah bulan Ramadhan di Bengkulu, beliau me­nyata­kan syukur kepada Ilahi karena Bung Karno dapat pindah dari Eden ke Beng­ku­lu dengan pengharapan Bung Karno dapat me­nger­jakan ibadah-iba­dah Islam. Alhamdulillah berhasil.

Dalam kursus yang dihadiri langsung oleh Bung Karno selaku Ketua Bagian Pengajaran Muham­ma­diyah itu, A.R. Sutan Mansur juga menyatakan moga-moga Bung Karno diizinkan Allah me­nerima tugas besar (yang ketika itu belum baik disebutkan secara terus-terang) karena besar baha­ya­nya, yaitu, bahwa beliau akan jadi Presi­den Republik Indonesia. Kete­rangan itu diterima oleh Bung Karno dengan terharu dan ber­cucuran air mata.

Sebelum Jepang masuk, di tempat dan waktu yang berbeda dua malam berturut-turut AR. Sutan Mansur berbi­cara dengan Bung Karno di rumah Wowo­run­tu asal Menado di Blantung, Kota Padang, dekat Residen. Masing-masing berdialog de­ngan maksud agar kedua belah pihak sama memahami kawannya. Bung Kar­no menerangkan histori mate­ria­lisme dan AR. Sutan Mansur mene­rang­kan historis Agama Allah dengan pem­ba­waannya, kedudukan alam dan ma­nusia. Sehabis keterangan Bung Karno yang terkesan lebih meyakini nilai-nilai materialisme daripada agama, AR. Sutan Mansur langsung mengingatkan: Bung Jatuh, Hancur!!! Saya tidak dapat Bung hancurkan; kehancuran berasal dari salah satu dari tiga perkara: Kekuasaan, Kese­nangan dan Wanita.

Apabila satu di antara tiga telah mem­pengaruhi diri, maka yang dua lagi akan timbul berturut-turut, saat itulah gerbang kehancuran terbuka. Terhadap ketiganya itu, Bung tidak bisa membela diri, pi­kirkanlah! Bung Karno menjawab: “Ya”. Ternyata dibelakang hari dia tidak men­jaga dirinya di atas bahaya tersebut, ketiga-tiganya menimpa dirinya, dan terjadilah apa yang saya ingatkan itu, kata Buya Tuo, pada suatu pengajian di Pa­dang, (Pah­lawan Kayo, dkk 2010: 92-93).

Sedangkan penggal akhir, selain dari memiliki planing lain, ia juga telah memi­kirkan masak-matah: jika ia me­nang, strategi apa dan kerja mana yang musti didahulukan untuk dilakukan. Sebalik­nya, langkah dan solusi apa yang bisa ia lakukan untuk menutupi semua hutang-piutangnya. Pun, termasuk di dalamnya jalan mana yang harus di­tempuh untuk merubah keadaan ma­syarakatnya ke tingkat yang lebih baik. Semua itu tentu telah tertata dan terkon­sep rapi dalam buku harian beliau. Alasan itulah yang membuat ia tidak berputus asa, apalagi sampai masuk ke dalam RSJ. Caleg andia tu mah na­monyo!

Lain dari itu, yang sangat fundamental sekali adalah, bahwa ia menyadari, baik menurutnya, belum tentu baik bagi Allah. Dengan persyaratannya ia mesti bisa mengubah keadaannya. Firman Allah mengatakan: “Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada suatu kaum sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri,” (Q.S. Al-Ra’d/13:11).

Ungkapan ayat di atas, “apa yang ada pada diri mereka sendiri” (ma bi-anfusi-him) dapat diartikan dengan “pikiran mereka sendiri”. Jadi, jika suatu bangsa (termasuk caleg) ingin merubah ke­adaan ataupun nasibnya, maka yang mesti mere­ka ubah, yakni “pemikiran”-nya terlebih dahulu. Karena yang mereka lakukan bersumber dari apa yang me­reka pikirkan, yaitu pemikiran. Dengan begitu, Insya Allah RSJ, baik yang berada di Sumbar khu­susnya dan Indonesia pada umumnya tidak akan membludak. Meski­pun ada, minimal satu dua. Se­moga!
Berbagi Melalui :

0 komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Herman Leady | Sungai Tampang
Copyright © 2014. Sungai Tampang BatuKalang - All Rights Reserved
Contact Us Herman LeadyTelp: +6282384632535
Proudly powered by Blogger